
Ikomupnjatim — Setelah sukses pada hari pertama, gelora CommXperience 2025 kembali membara di hari kedua (20/5). Ilmu Komunikasi UPN “Veteran” Jawa Timur mengundang Dr. Ekky Imanjaya selaku pembicara dengan topik “The Future of (Indonesian) Cinema: The Case of AI as Disruption”. Dosen Universitas Bina Nusantara itu menyoroti dampak disruptif Artificial Intelligence (AI) pada industri film.
Lelaki yang kerap disapa Ekky itu memandang bahwa senantiasa ada disrupsi pada sinema global yang mendorong industri untuk terus beradaptasi. Hal ini mengacu pada konteks saat ini yang ia sebut sebagai momen emas, dimulai saat pandemi pada 2019-an. Kini Indonesia dianggap memiliki kreativitas dan kemampuan adaptif yang luar biasa, telah membawa film-film seperti “Jumbo” yang dikerjakan oleh lebih dari 400 animator.
Di samping itu, kecerdasan buatan menurutnya telah menjajah perfilman Indonesia, yang kemunculannya dianggap sebagai ancaman bagi segelintir orang. Lebih lanjut Ekky menyebut bahwa hal ini bahkan memicu unjuk rasa para penulis Hollywood setelah 63 tahun tidak terjadi. “Kekhawatiran yang timbul adalah dengan hadirnya AI akan menggeser peran manusia, terutama terkait kreativitas,” jelasnya.
Setelah mengajak para peserta menelusuri perkembangan film, dosen perfilman itu juga menerangkan langkah mengubah AI sebagai dirupsi menjadi inovasi, yakni dengan mempertahankan keunikan karya sebagai identitas seniman. Membangun sustainable industry yang dapat memberikan ruang nyaman dan berkembang bagi pekerja film juga perlu diupayakan, misalnya dengan membentuk kebijakan terkait penggunaan AI dalam produksi film.
Pada diskusi ini, Ekky menekankan bahwa regulasi terkait penggunaan AI dalam sinema Indonesia sangat diperlukan untuk membatasi penyalahgunaan AI. Hal ini sebagai upaya melindungi pekerja kreatif tanpa mengesampingkan inovasi. “Penulis dapat mengadaptasi AI, VR, dan teknologi, asal tetap memperhatikan etika,” tekan Ekky.
Di samping kelebihannya, penggunaan AI pada industri film juga tak luput dari risiko yang mungkin terjadi, seperti hilangnya lapangan pekerjaan, masalah etika, kejahatan dunia maya, hingga kesenjangan ekonomi. Regulasi dan kebijakan menjadi penting untuk mengantisipasi terjadinya pelanggaran yang lebih berat. “Semua orang akan AI pada waktunya, tinggal bagaimana caranya kita mengontrolnya. Karena bagaimanapun, AI hanya mesin yang bisa terjadi kesalahan, jangan percaya 100%,” ungkap Ekky.
Di penghujung materi, Ekky berpesan dan kembali mengingatkan untuk tidak perlu takut dengan kehadiran AI. Selain itu, Ia juga mengimbau kepada para pembuat film untuk menciptakan kebaruan, penyegaran, dobrakan, serta terobosan pada karya yang dibuat. “Kita sebagai penikmat bisa mendukung dengan membuat ulasan film, melalui literasi, apresiasi, dan edukasi yang bersifat membangun,” tutupnya.
Penulis: Fani Septi
Editor: ‘Indanaa Zulfaa