
Di ruang sidang terbuka Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Ahmad Zamzamy berdiri dengan suara yang tenang tapi penuh getar. Bukan karena gugup, melainkan karena membawa satu hal yang tak ringan: kisah pertobatan para mantan narapidana terorisme (napiter), yang ia teliti dengan empati dan kedalaman akademik. Hari itu, ia resmi menyandang gelar doktor.
Disertasinya yang berjudul “Pertobatan Mantan Narapidana Terorisme (Studi Liminalitas di Ruang Publik Virtual)” bukan sekadar kajian ilmiah, tapi cermin kompleksitas kemanusiaan yang berusaha bangkit dari kelamnya masa lalu. Dosen Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jawa Timur ini meneliti bagaimana tiga eks napiter merangkai narasi pertobatan mereka di media sosial, khususnya Facebook—bukan untuk membela, tetapi untuk memahami. Untuk menjembatani luka dengan harapan.
“Ruang digital hari ini tak hanya tempat berbagi opini, tapi juga menjadi ruang pengadilan public. Bagi mereka yang sudah bertobat, media sosial bisa menjadi jembatan menuju reintegrasi. Tapi bisa juga menjadi tembok stigma yang tak mudah ditembus,” ujar Zamzamy di hadapan tim promotor, para akademisi, dan keluarga yang hadir.
Menggunakan teori liminalitas Victor Turner dan konsep ruang publik virtual dari Zizi Papacharissi, Zamzamy menemukan bahwa proses pertobatan itu bukan garis lurus. Ada fase terasing, fase liminal yang sunyi dan penuh gejolak, serta fase reintegrasi yang justru paling menantang di dunia digital yang cepat menghakimi.

Facebook, menurutnya, menjadi panggung di mana mantan pelaku kekerasan mencoba mengubah naskah hidupnya. Tapi panggung itu juga penuh sorotan. Ada yang menyambut dengan dukungan, ada yang menyergap dengan curiga. Dan ada yang menolak lupa.
Zamzamy tidak bicara dari atas menara gading. Ia mengamati dengan kesabaran, membaca narasi demi narasi, dan menyusun satu pertanyaan penting: “Apakah ruang digital bisa menjadi tempat rekonsiliasi, bukan hanya penghakiman?”
Promotornya, Prof. Kacung Marijan, menyebut disertasi ini sebagai karya yang berani, jernih, dan diperlukan. Sejumlah penguji pun banyak yang menyampaikan apresiasi terhadap desertasi itu. Bahkan, mereka menekankan pentingnya pendekatan seperti ini dalam memahami dinamika pasca-konflik.
Zamzamy percaya, kisah pertobatan bukan milik satu orang. “Ini adalah panggilan untuk kita semua: untuk tidak cepat menghakimi, dan untuk memberi ruang pada orang yang berusaha kembali pulang.”
Desertasi yang menarik itu akhirnya mengantarkan dosen yang humoris ini meraih gelar doktor. Ia menolak menyerah meski usianya tidak muda lagi. Akhirnya, ia menjadi doktor yang ke-361 di FISIP Unair. Proficiat doktor! (F)
Penulis: Mohammad Syarrafah