Elektabilitas Digital

Elektabilitas Digital

Friday, 8 October 2021 Komunikasi Politik 0

Elektabilitas digital adalah tingkat keterpilihan atau ketertarikan publik dalam memilih sesuatu, baik itu seorang figur, lembaga atau partai, maupun barang dan jasa dimana informasi tersebut didapatkan dari hasil pembacaan media digital semisal media sosial.

Irwan Dwi Arianto

Membaca Elektabilitas Digital dapat dilakukan dengan menganalisis kualitas dan posisi dalam jaringan media sosial. Tiap media sosial memiliki kharakteristik dan keunggulan masing-masing dalam pembacaan. Facebook masih mendominasi untuk pembacaan hingga pelosok desa, Twitter memberi gambaran politik ditingkat nasional atau global, YouTube menunjukkan bagaimana jaringan edukasi visual bergerak dan memberikan pengaruh demikian juga TikTok serta berbagai media sosial lainnya.

Membaca aktor dan pergerakannya dalam jaringan

Media sosial banyak turut andil dalam menentukan berbagai kebijakan di Indonesia namun ironisnya masih ada yang “salah” kaprah dalam memahami kuasa didunia digital.

Media sosial adalah interactive computer-mediated technologies yang memfasilitasi penciptaan atau berbagi informasi, ide-ide, pernyataan minat juga berbagai bentuk ekspresi lainnya melalui komunitas dan jaringan virtual yang terbentuk. User generated content seperti postingan text atau komentar, foto atau video digital, juga data yang dihasilkan melalui semua interaksi online adalah sumber kehidupan media sosial. Jaringan yang terbentuk melalui media sosial mengubah cara sekelompok orang berinteraksi dan berkomunikasi atau bertahan dengan pilihannya. Memperkenalkan perubahan substansial dan meresap kedalam komunikasi antar organisasi, komunitas dan individu. Media sosial yang beroperasi dalam sebuah dialogic transmission system (banyak sumber ke banyak penerima).

Enrique Dans menulis dalam sebuah artikel bahwa hubungan antara populisme dan jejaring sosial mencakup lebih banyak aspek daripada yang biasanya dipertimbangkan. Kesadaran beberapa politisi bahwa jejaring sosial yang berorientasi pada pemasaran dan kampanye yang sangat tersegmentasi menawarkan cara “sempurna” untuk menyebarkan pesan mereka hanyalah satu aspek. Figure seperti Donald Trump, tiba-tiba menjadi pengiklan terbesar di Facebook, menggunakan kampanye penargetan miro massal untuk menyebarkan pesannya yang menghasut diantara kelompok pemilih yang rentan. Strategi yang tidak mungkin dilakukan sebelum masa media sosial. Ada hubungan tersendiri antara populisme dan jejaring sosial yang mengundang refleksi. Kemunculan gerakan dan pemimpin populis telah berlipat ganda sejak saat jaringan sosial benar-benar lepas landas. Kisah hitam putih sederhana, baik dan buruk dikemas dan disampaikan dengan presisi laser kepada mereka yang paling menghargainya.

Antropolog John Postil menyampaikan bahwa untuk memahami hubungan antara media sosial dan kebangkitan populisme memerlukan pendekatan komparatif global yang dengan cermat meneliti klaim tentang efek teknologi media baru pada perubahan politik. Pemikiran dan tindakan masa depan di media sosial dan populisme harus mempertimbangkan serangkaian faktor dan konteks budaya yang lebih besar daripada yang biasanya dipertimbangkan, sambil dengan hati-hati memeriksa laporan tentang dampak langsung analitik media sosial , gelembung filter , atau berita palsu pada kesuksesan populis. Akan salah jika menganggap media sosial sebagai ranah yang terpisah dari lingkungan media lainnya. Media sosial merupakan bagian integral dari sistem media total (Andrew Chadwick dengan teori the emergence of hybrid media system). Postil menjelaskan bahwa dalam sistem seperti itu, media sosial dan media massa saling mengisi dalam lingkaran rekursif dari apa yand disebut “realitas viral” dimana para pemimpin populis dan pengikut mereka bersama-sama membuat konten, seringkali melalui tagar, straddle media sosial dan media masa dalam membagi dan mengaburkan batas antara berita dan opini.

Dalam Teori Ketergantungan Sistem Media ( Media Systems Dependency Theory) dijelaskan bahwa semakin seseorang bergantung pada pemenuhan kebutuhan oleh penggunaan media, semakin penting peran media dalam kehidupan seseorang dan oleh karena itu semakin besar pengaruh media tersebut (Baran & Davis, 2006, hal. 127). Semakin publik bergantung pada media sosial (Twitter, Facebook, Instagram, YouTube, TikTok dsb) dimana tidak hanya sebagai jalur komunikasi namun sebagai bagian yang bermanfaat dari proses komunikatif maka semakin banyak nilai dan pengaruh yang akan dimiliki oleh media-media sosial tersebut. Media-Media Sosial dengan karakternya masing-masing disamping membentuk jaringannya juga menumbuhkan jaringan lain yang saling terkait antar media sosial juga media online lainnya dengan perpaduan algoritmanya membentuk sinergy baru. Hal yang membutuhkan pendekatan baru untuk mengenalinya dalam memperoleh digital insight.

Media Sosial sebenarnya juga menciptakan audience sadar bahwa tidak hanya elemen-elemen dalam pesan namun juga memprosesnya dan memanfaatkan kemampuan uniknya untuk menjangkau individu-individu lain. Itulah sebabnya media sosial adalah alat yang paling efektif saat ini dalam membaca individu yang telah menyatakan minatnya yang tentunya memberi kesempatan aktor politik dalam membangun hubungan yang lebih dalam. Aplikasi jejaring sosial yang tidak sekedar memberikan informasi namun juga dorongan aktivisme.

Hubungan berkembang antar media sosial juga dengan media online lainnya yang muncul dan pengaruhnya mengubah proses politik serta kampanye yang memungkinkan arena baru politik akar rumput. Pemilih tidak lagi membuat keputusan hanya berdasarkan ulasan media tradisional namun dengan gadget ditangannya mencari pengetahuan tambahan hingga digital activism. Studi Pinkleton, Austin dan Fortman (2010) menemukan bahwa penggunaan media massa dan media sosial berkorelasi positif dengan perilaku memilih individu. Hal yang semakin mengerucut di tahun 2021.

Menjangkau swing voters atau berinteraksi dengan basis setia mereka melalui media sosial untuk “terhubung” secara efektif. Penggunaan media sosial dapat menghantarkan ke kehancuran atau keberhasilan. Berikut 6 (enam) cara media sosial mempengaruhi lanskap politik dan aktivitas kampanye sebagai hasilnya :

  1. Meningkatkan partisipasi dalam proses politik
  2. Berfungsi sebagai forum terkemuka untuk keterlibatan politik (political involvement)
  3. Menumbuhkan aktivitas politik pribadi yang ekspresif dan penuh perhatian
  4. Meningkatkan partisipasi pemilih
  5. Merangsang kebangkitan issue voters
  6. Menggeser pengguna lebih kecil untuk memproduksi konten politik tertinggi

Media sosial telah mengambil alih dalam hal membangkitkan minat dan tidakan untuk berbagai tujuan (terutama generasi milenial). Pew research menemukan bahwa pengguna media sosial berusia 30 tahun kebawah telah mendorong teman-temannya di media sosial untuk mengambil tindakan atas masalah yang mereka anggap bermakna. Mereka yang mengekspresikan pandangan mereka di media sosial juga dikenal sebagai “expressive attentives”. Berdasarkan penelitian YouGov dan Pascasarjana Manajemen Politik Universitas George Washington, perhatian ekspresif hampir empat kali lebih mungkin untuk mengatakan bahwa mereka telah menghadiri protes baru-baru ini dibandingkan dengan rata-rata orang dari afiliasi partai terkait. Hampir 95% perhatian ekspresif mengatakan mereka akan “pasti memilih” dibandingkan dengan sekitar 83% untuk rata-rata individu dengan afiliasi partai yang sama. Pew research menyatakan hampir sepertiga dari pria berusia 18 hingga 29 tahun telah berubah pikiran tentang suatu masalah karena apa yang mereka pelajari di jejaring sosial. Disamping itu ditemukan bahwa lebih dari 80% tweet dibuat oleh 10% pengguna paling aktif . Pseudo Power, buzzer dan Influencer adalah hal yang perlu menjadi perhatian, ketelitian dan pertimbangan tertentu.

Tidak dapat dihindari bahwa dengan keberadaan media sosial telah mengubah lanskap hubungan manusia dimana individu mampu menampilkan banyak versi dirinya dibanyak platform. Hubungan seketika hingga tidak harus bertemu langsung untuk saling menjaga sebagai pergeseran pola interaksi dan komunikasi akan keberadaan media sosial. Individu yang mampu menampilkan “diri tertentu” dari diri mereka sendiri yang sebenarnya justru ungkapan terdalam dari indentifikasi anonim. Bangunan ruang pribadi secara digital sebagai konsepsi “ruang” yang mengarah pada satu narasi besar bahwa ruang pribadi menjadi ruang semi-transparan yang dibangun dalam upaya mengurangi bentuk-bentuk hierarki, kontrol dan pengawasan tertentu dari orang-orang tertentu. Ruang yang mendekonstruksi panopticon Foucault.

Kramer dan Haferkam (2011) menyampaikan bahwa media sosial telah menjadi arena pertempuran simbolik dimana tindakan seseorang dalam situasi sosial dipengaruhi oleh beberapa rangkaian hubungan sosial dengan tujuan tertentu. Media sosial tidak hanya merevolusi masyarakat namun secara fundamental mengubah dunia politik. Memaksa para kandidat beserta team untuk secara strategis menggunakann berbagai saluran untuk “lebih” terhubung dengan pendukungnya dan undecided voters. Strategi komunikasi adalah kunci keberhasilan dengan dasar riset Media Sosial melalui pilihan metode yang tepat.

Irwan Dwi Arianto, M.I.Kom
Kepala Laboratorium Media Digital, TV dan Radio.

Sources :